Minggu, 28 Februari 2010

tugas kewarganegaraan

pasal 28 h

setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin. Bertempat tinggal. Dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Menjelang pelaksanaan KTT Habitat II (6/1996) yang menghasilkan The Habitat Agenda, masyarakat dunia menyiapkan sikap, pandangan dan pemahaman terhadap tuntutan, masalah dan peluang yang tawarkan abad baru ini. Berbagai kegiatan di seluruh penjuru dunia dilakukan untuk memberi masukan terbaik agar hasil KTT mampu menjawab kondisi abad XXI yang saat itu belum jelas. Kini abad XXI telah dilewati hampir satu dasawarsa. Apakah kita sudah siap sebagai warga abad baru yang sudah lebih baik diketahui? Tetapi berapa di antara kita sudah membaca tuntas The Habitat Agenda tersebut? Masyarakat dunia ternyata ragu terhadap keampuhan pelaksanaanThe Habitat Agenda dan perlu metetapkan agenda baru yaitu Millenium Development Goals (MDGs) sebagai dorongan agar keadaan dan kehidupan manusia benar menjadi lebih baik.

Pada dasarnya pembangunan dilaksanakan demi mencapai manusia yang lebih baik, termasuk membangun perumahan. Untuk itu dunia perlu mengetahui lebih lanjut manusia abad XXI itu seperti apa. Tentang hal ini jauh sebelum itu dunia sudah mengantisipasi melalui penyelenggaraan kongres internasional yang diikuti sekitar enam ratus pakar dunia di Rotterdam. Kongres di awal tahun tujuhpuluhan tersebut memilih tema City and Citizen in the year 2000. Selanjutnya di Hannover tahun 2000 diadakan pertemuan dunia yang memantapkan kriteria hasil tiga dasawarsa sebelumnya. Secara sederhana karateristik manusia abad XXI adalah:

  1. Mencapai keberhasilan melalui aktualisasi diri
  2. Mampu mengendali diri melalui ekspresi
  3. Membangun kemandirian dalam hubungan interdependence
  4. Berkarya yang lebih alami dari pada terikat pada peralatan
  5. Membangun daya saing dalam kolaborasi yang kuat
  6. Kemampuan menahan beban stress diimbangi dengan kapasitas menikmati kegembiraan
  7. Mencapai pekerjaan penuh bersama kehiudpan yang kaya
  8. Merubah prilaku membanggakan diri dengan membangun harkat dan harga diri.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa manusia abad XXI telah bergeser jauh dari paradigma mahluk biologis yang tuntutannya terbatas pada pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan sampai ke paradigma memiliki hak asasi dan kewajiban menjadi paradigma manusia yang utuh, kreatif, mandiri dan bangga tentang siapa dirinya. Pertanyaannya, apakah manusia Indonesia kini memilik karakter seperti di atas? Pertanyaan ini terbacakah pada pemilu baru-baru ini!? Manusia Indonesia mungkin belum beranjak jauh dari manusia soft sate seperti ditulis Gunnar Myrdal dalam The Asian Drama sekitar setengah abad lalu. Kalau begitu, bagaimana rumah yang harus disediakan di abad XXI ini?

Atau apakah kita belum perlu terlalu jauh memikirkan model rumah Indonesia abad XXI? Bukankah untuk menyediakan model rumah abad lalu seperti RsH saja masih beragam banyak kesulitan? Kawasan kumuh masih terus digusur, kalau perlu demi mencapai taman "manusiawi"? Di Kupang, ratusan rumah yang memiliki hak atas tanah dan sudah berdiri puluhan tahun, kini tiba-tiba akan digusur demi membangun waterfront city dengan modal dari luar yang diayomi Walikota namun gaib bila dicari warganya? Masih banyak pertanyaan tentang kerentanan rumah wong cilik yang dapat diajukan. Kongres Perumahan Rakyat yang diselenggarakan bulan Mei 2009 ini hendak menjawab pertanyaan di atas yang mana?

Pada tanggal 10 Agustus 2002, MPR merampungkan amandemen UUD 1945 keempat yang untuk pertama kali memasukan hak atas perumahan sebagai hak asasi manusia Indonesia. Pasal 28H ayat (1) berbunyi: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat (4) menyebutkan: Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Pasal ini ada pada bab XA tentang Hak Asai Manusia. Dalam UU no. 4 tahun 1992 pasal 5 berbunyi: (1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Ayat (2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Dengan merujuk pada pasal 5 UU 4/1992 di atas makna pasal 28H UUD 1945 lebih mudah ditemukan kaitannya dengan berbagai kesepakatan internasional, yang sebagian besar disponsori PBB. Untuk mengulas pasal 28H tersebut, beberapa acuan di pakai, antara lain Basic Human Rights dan The Human Right to Adequate Housing terbitan UN Centre for Human Rights di Geneva, Legal Resources for Housing Rights (2000) terbitan COHRE, Rotterdam dan REPORT of The Right to Housing (2003) yang diterbitkan oleh Escuela Tecnica Superior de Arquitectura de Valladolid, Espapana. Sebagian besar hasil dari PBB dengan mudah dapat diraih di internet seperti The Habitat Agenda dan sebagainya. Sayang hampir tidak ditemukan terbitan yang membahas tentang hak atas perumahan yang layak dalam bahasa Indonesia.

Kalau dikaji kembali maka pasal 28H UUD 1945 ini mirip dengan pasal 25(1) dari Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (1948) walau kalah lengkap. Sedang yang pertama kali merekomendasikan tentang Perumahan (Buruh), adalah ILO dengan Rekomendasi No. 115 (1961) dan dilanjutkan dengan mengusulkan luas minim rumah buruh sebesar 5,1 m2 per kapita. Ini kemudian dipakai untuk menentukan luas rumah inti di banyak negara termasuk Indonesia seperti Rumah Inti, RSS dan sejenisnya. Memasuki dasawarsa sembilan puluhan hasil pembangunan diukur dari perbaikan Human Development Index, maka luas rumah yang layak menjadi 10 m2 per kapita sesuai usul WHO. Standar ini dipakai BPS untuk menentukan Indeks Kesejahteraan Rakyat yang tiap tahun diterbitkan.

Kembali ke masalah acuan tentang Hak atas Perumahan Layak, pilar pertama yang dipakai dunia adalah International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (1966) yang diterjemahkan oleh Komnas HAM ke dalam bahasa Indonesia (2004) setelah pemerintah RI bersama rombongan negara terakhir seperti Amerika Serikat dan Cina meratifikasinya. Pasal 11(1) kovenan tersebut berbunyi: Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui setiap orang atas kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan, sandang dan papan, dan perbaikan kondisi hidup yang terus menerus. Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin perwujudan hak tersebut dengan mengakui arti yang esensial dari kerja sama internasional yang didasarkan pada kesepakatan sukarela. Akan baik bila membaca juga naskah aslinya dalam bahasa Inggris.

Ketika membahas rumusan hak atas perumahan layak pada KTT Habitat II di New York dan Istanbul, terjadi kemacetan karena di satu fihak negara EU berkeras bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam upaya warga mencapai hak rumah layak. Sebaliknya di sisi lain Amerika Serikta dengan dukungan India, China, Jepang dan sebagainya tidak setuju. Mereka takut bila gagasan tertsebut di terima pemerintah akan terus digugat rakyatnya. Dalam keadaan macet pembahasan dilakukan melalui lobi informal dan wakil Indonesia mengusulkan rumusan pasal 5 UU no. 4 tahun 1992 yang akhirnya dapat diterima sehingga masalah tersebut tidak jadi berlarut-larut. Rumusan hak atas rumah yang layak ada pada pasal 39 dari The Habitat Agenda yang disepakati pada KTT Habitat II di Istanbul (6/1996). Tentang hal ini dapat dibaca juga pada buletin yang terbit di Spanyol tahun 2003.

PBB sebenarnya banyak sekali mengeluarkan kovenan, konvensi, deklarasi, usulan dan sebagainya. Memang tidak semua harus mendapat ratifikasi negara anggota. Tetapi kesepakatan yang lebih dahulu harus diratifikasi, banyak yang hingga kini belum dilakukan dan tidak sedikit yang puluhan tahun kemudian baru diratifikasi seperti kovenan tentang hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan ditetapkannya hak (asasi) atas rumah dan lingkungan oleh UUD 1945, tidak ada alasan tidak meratifikasi berbagai kesepakatan internasional yang mengandung Hak Asasi Perumahan Layak tersebut.

Hak Rumah yang layak tersebut harus dibaca dalam kesatuan dengan hak memilikinya. Bila anda mempunyai sepeda motor butut yang hanyanya cuma Rp 4 juta, anda dilindungi atas kepemilikan tersebut melalui BPKB. Namun bila anda punya rumah seharga Rp 40 milyar, yakinlah bahwa anda tidak dapat menunjukan surat kepemilikan yang sah di depan pengadilan. Menjelang akhir tugas BRR di Aceh dan Nias, terjadi banyak penyerobotan atas rumah oleh fihak yang tidak berhak. Sedang yang berhak tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan puluhan rumah yang dibangun oleh berbagai fihak di desa Labuy bagi mereka yang masih di barak telah diserobot oleh orang yang tidak berhak, termasuk yang dibangun BRR namun penghuni liar ini tidak dapat diapa-apakan sampai BRR bubar. Polisi ketika dilaporan juga tidak dapat bertindak karena tidak jelas undang-undang apa dan pasal berapa yang dilanggar.

Pasal 28 H

sebenarnya dimaksud dengan Rumah Layak. Pemerintah telah mencoba mengeluarkan arahan dan definisi tentang rumah layak. Tetapi ini tidak pernah diumumkan atau disosialisasikan luas sehingga hampir tidak ada yang tahu. Kalau ada yang tahu tidak peduli sehingga menjadi mandul. Substansi definisi rumah layak versi pemerintah biasanya beda dengan yang dihayati atau diharapkan masyarakat luas. Di sini secara singkat dicoba menyampaikan beberapa rumusan tentang rumah layak yang diyakini masyarakat dunia. Rumah layak bukan hanya dan tidak boleh hanya terkait dengan persyaratan fisik, tetapi peluang untuk mencapainya, jaminan berkelanjutan dan masih banyak aspek lain yang perlu ikut memberikan kepatiannya.

Gagasan merumuskan kriteria atau definisi tentang apa yang disebut rumah Layak sudah muncul sejak PBB mengadopsi kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Muara dari upaya ini pertama kali muncul pada Deklarasi Vancouver tentang Human Settlements yang dihasilkan oleh KTT Habitat I (1976). Namun rumusan yang dicapai sangat umum dan normatif sehingga sama sekali tidak memberi dampak apapun bagi perumusan kebijakan maupun menyusunan program. Baru saat Global Strategy for Shelter to the year 2000 ditetapkan PBB pada 12/1988 (GSS 2000), Rumah Layak didefiniskan lebih baik meliputi kelayakan privacy, kelayakan ruang, kelayakan sekuriti, kelayakan penerangan dan ventilasi, kelayakan PSD dan kedekatannya pada berbagai sarana dasar, semua dalam batas keterjangauan mencapainya. ECOSOC PBB pada keputusan Sidang Umum PBB no. 4 tahun 1991 lebih lanjut yakin bahwa aspek-aspek kelayakan rumah berikut ini perlu diperhatikan yaitu:

  1. Jaminan kepemilikan yang dilindungi hukum
  2. Ketersediaan service, bahan, fasilitas dan prasarana
  3. Kemampuan beli dari masyarakat
  4. Layak huni atau habitable
  5. Dapat diakses oleh siapa saja
  6. Lokasinya yang mendukung bagi kehidupan
  7. Kelayakan budaya, termasuk menjalanlkan keyakinan yang luas

The Habitat Agenda yang dihasilkan pada KTT Habitat II di Istanbul mendefinikan Rumah yang Layak mirip dengan yang dihasilkan GSS 2000. Paragraf 60 menyebutkan bahwa Rumah Layak berarti lebih dari sekedar ada atap di atas kepala. Arti penting lainnya adalah kelayakan: privacy, ruang, pencapaian atau akses fisik, keamanan, kepemilikan, kestabilan dan ketahanan struktur bangunan, kecukupan penerangan, pemanasan (pendinginan bagi kita), ventilasi, PSD seperti ketersediaan air minum, sanitasi dan pengelolaan air buangan. Masih banyak aspek lain yang dijabarkan pada paragraf ini serta perlu dipilih dan disesuaikan dengan keadana dan keperluan di masing-masing daerah. Ini termasuk bagi Indonesia yang keragaman daerah, budaya dan peluang yang ada berbeda tajam antara pulau yang satu dengan pulau lain.

Masalah bagaimana ketetapan dalam The Habitat Agendaini harus diselenggarakan atau diimplementasikan juga diperhatikan. Paragraf 39 menyebutkan ada komitmen anggota PBB (yang notabene adalah negara) untuk merealisasikan secara penuh dan progressive tentang Hak atas Rumah Layak…….. dan pemerintahan berkewajiban untuk memberdayakan warganya agar mampu memcapai shelter, serta melindungi dan memperbaiki perumahan dan neighbourhood-nya. Masih banyak paragraf lain yang memberi panduan bagaimana rumah layak dapat dicapai. The Habitat Agenda juga secara tegas memasukan produksi rumah yang bertumpu pada komunitas (para 73) dan memasukan prinsip perbaikan kampung sebagai alat meningkatkan mutunya. Kedua paragraf ini merupakan kontribusi dari delegasi Indonesia.

Kelayakan yang tidak kalah pentingnya adalah lingkungan yang baik dan bermutu yang ada pada pasal 28H dari UUD 1945. Agenda 21 yang dihasilkan pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992 hampir tidak memberikan arahan terkait dengan lingkungan perumahan dan permukiman yang baik. Namun di ITS berbagai penelitian dilakukan tentnag bagaimana rumah ramah lingkungan (eco-house dan ecopolis), perencanaan permukiman berdasar prinsip keberlanjutan sampai criteria menciptakan lingkungan permukiman yang baik karena hemat dan ramah dalam penggunaan lahan, bertanggung jawab dalam pengelolaan limbah sampai menciptakan sistem iklim yang membuat penyelenggaraan rumah hemat enerji dan sebagainya.

Yang menyedihkan adalah sampai kini The Habitat Agenda belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Awalnya PU pernah mencoba untuk menterjemahkannya, namun lembaga bahasa profesional yang dikontrak untuk melakukan peng-Indonesia-an The Habitat Agenda terbatas kemampuannya sehingga terjemahan yang dihasilkan jauh dari makna naskah aslinya sehingga upaya itu sia-sia. Upaya selanjutnya juga pernah dilakukan memakai konsultan ahli perumahan dengan hasil setali tiga uang. Apakah ini juga pertanda bahwa ilmu perumahan nyaris tidak berkembang di Indonesia? Lalu siapa mereka (ahli) yang kini menjalankan penyelenggaraan pembangunan perumahan? Apakah ini sebabnya sehingga pranata yang mengatur pengadaan perumahan hanya dapat melihat rumah yang dibangun secara formal yang masih melayani tidak lebih dari 10% dari stok rumah yang ada saja?

Kalau saja bencana di Aceh dan Nias yang terjadi empat tahun silam dapat berbicara, maka gambarannya keahlian dalam masalah perumahan sebatas sebuah paradoks. Di satu sisi kita tidak mengembangkan keahlian yang tangguh dan tersistem dalam bidang perumahan dan permukiman, sebab pendidikan keilmuan perumahan dan permukiman hanya ada di satu perguruan tinggi. Bersamaan dengan itu, di sisi lain pada pembangunan kembali akibat bencana maha-dahsyat di Aceh dan Nias, keahlian kita ternyata tidak kalah dari pemain internasional yang ikut membantu. Ahli-ahli Indonesia telah membangun seribu rumah pertama di Calang, jauh sebelum BRR dibentuk. Rumah-rumah ini ternyata mampu membangun kembali ibukota Kabupaten Aceh Jaya (Calang) yang hancur total tanpa satu bangunan yang masih berdiri. Saat itu tidak satupun lembaga asing yang “berani” menangani pembangunan di Calang. Putusnya hubungan darat dan pelabuhan yang tersapu habis menjadikan pembangunan di Calang sebagai sebuah mission impossible. Tetapi kenyataan membuktikan lain, hanya dalam dua bulan ibukota Calang telah berfungsi kembali dengan semua fasilitas berfungsi mulai dari limabelas kantor dinas, sekolah, balai kesehatan sampai kantor Bupati dan gedung DPR.D Ini kemudian berhasil meyakinkan lembaga asing yang langsung ramai-ramai mau hadir.

Pembangunan kembali di Calang merupakan bukti dari pembangunan yang semula dianggap mustahil, termasuk yang sesuai adat lokal, tahan gempa (9 pada skala Richter), ramah lingkungan, dan seluruhnya merupakan cipta karya anak bangsa. Upaya ini mendapat masukan apapun baik dari BRR maupun lembaga seperti UN Habitat yang hasil kerjanya jugatidak dapat dijadikan acuan. Lebih dari itu, pendidikan tinggi lainnya atau lembaga pemerintahan nasional di Jakarta tidak memberikan sumbangsih konseptual. Juga hampir tidak ada pakar yang bersedia hadir bersama korban sejak hari pertama sampai hari terakhir.

Tantangan lebih rumit ketika harus membangun kembali rumah yang rusak akibat bencana sambil menghidupkan kembali minat masyarakat terhadap adat dan rumah adatnya di Nias Selatan yang juga tidak ada satu fihakpun terlibat, termasuk BRR. Di Nias tengah dan Nias utara saat ini sudah tidak ada rumah adat secara signifikan. Perbaikan rumah adat di Sembilan desa dicapai tanpa panduan atau bimbingan keahlian dari siapapun.. Ini sebuah cerita yang menyedihkan sekali gus membanggakan. Sebab kini tidak satupun tokoh atau lembaga asing manapun yang berani mengatakan bahwa konsep atau pemikiran mereka berhasil membangun kembali di Aceh dan Nias. Semoga ini akan tereflkesi pada Kongres Perumahan Rakyat dan upaya menyusun kembali UU Perumahan dan Permukiman yang baru untuk melayani masyarakat Indonesia abad XXI.

meneggakan dan melindungi hak asasi manusia

Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan negara di dunia. Indonesia pun tak luput dari kontroversi ini. Sampai hari ini pihak yang pro hukuman mati dan yang kontra hukuman mati masih bersilang sengketa. Masing-masing datang dengan rasional dan tumpukan bukti yang berseberangan, dan dalam banyak hal seperti mewakili kebenaran itu sendiri.

Seyogianya kontroversi itu berakhir ketika UUD 1945 mengalami serangkaian perubahan. Dalam konteks hukuman mati kita sesungguhnya bicara tentang hak-hak asasi manusia yang dalam UUD 1945 setelah perubahan masuk dalam Bab XA. Pasal 28A dengan eksplisit mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Jadi, ‘hak untuk hidup’ atau ‘the right to life’ adalah hak yang paling mendasar dalam UUD 1945. Menariknya hak untuk hidup ini ditulis kembali dalam Pasal 28I (1) dalam rumusan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Kalau kita melihat UUD 1945 khususnya Bab XA dalam perspektif yang holistik, maka Pasal 28A dan Pasal 28I ini adalah pasal-pasal yang berada dalam satu payung hak asasi manusia yang dalam teori hak asasi manusia kita kenal sebagai “non-derogable human rights” sesuai dengan frasa “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Jadi, hak untuk hidup ini adalah hak yang tak bisa dikompromikan dengan hak-hak lain, dan karena itu hak untuk hidup ini merupakan hak yang sifatnya ‘paramount‘. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang merupakan induk dari semua hak asasi lain.

Konsekuensi logis dari pola pikir di atas adalah semua produk perundangan haruslah mengalami perubahan dalam arti dihilangkannya pasal-pasal hukuman mati. Pertama, hukuman mati yang lahir sebelum perubahan UUD 1945 harus secara tegas dicabut dan dinyatakan tidak berdaya kekuatan hukum, dan kedua, tidak boleh lagi ada produk perundangan yang baru yang mencantumkan hukuman mati. Buat Indonesia seharusnya sejak tahun 2000 ketika Bab XA itu dilahirkan, perdebatan mengenai hukuman mati seharusnya sudah selesai. Tetapi perdebatan masih terus berlangsung. Hukuman mati juga masih terus dijatuhkan.

Mengapa pengingkaran konstitusi ini terus terjadi? Ada dua penjelasan mengapa hukuman mati masih terus dilakukan. Pertama, ketika rumusan “the right to life” itu dicantumkan dalam UUD 1945 kebanyakan pembuat perubahan UUD 1945 menyambut itu dengan gembira sebagai bagian dari reformasi. Hak asasi manusia secara komprehensif musti dicantumkan dalam UUD 1945. Ada political euphoria.

Negara Maju

Tapi yang tak kalah menariknya yaitu adanya political fashion. Barangkali keinginan untuk punya pasal-pasal hak asasi manusia yang komprehensif itu dikaitkan dengan kehendak untuk masuk dalam klub negara-negara maju yang demokratis dan hormat terhadap hak asasi manusia. Hanya itu. Tak terpikirkan bahwa UUD 1945 yang menjadi supreme law of the land mewajibkan pula semua UU tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, secara sengaja kelompok-kelompok yang beraliran keras secara terbuka menyuarakan keyakinan mereka bahwa adanya “the right to life” dalam UUD 1945 tak otomatis membuat hukuman mati harus dihapuskan. Tafsir bahwa hak untuk hidup sebagai “non-derogable rights” dinafikan karena aliran ideologi yang sesungguhnya percaya pada hukuman mati.

Kelompok-kelompok garis keras yang kurang sepaham dengan hak asasi manusia universal menganggap bahwa hak asasi manusia di Indonesia haruslah juga menghormati budaya lokal atau agama yang masih menganut hukuman mati. Di sini ada deviasi dalam tafsir hak asasi manusia. Paham hak asasi manusia yang berdasar “cultural relativity” hidup kembali meski berbenturan dengan fahal “universal human rights“.

Seharusnya dalam gelombang hak asasi manusia yang kencang ini, seharusnya perdebatan hak asasi manusia ini sudah selesai. Karena sejak tahun 1764 suara yang menghendaki hapusnya hukuman mati sudah bergema. Cesare Beccaria dalam bukunya On Crimes and Punishment menulis uraian yang bagus:

“Capital punishment, was both inhumane and ineffective: an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than the certainty of imprisonment. Furthermore, that capital punishment was counterproductive if the purpose of law was to impart a moral conception of the duties of citizens to each other. For, if the state were to resort to killing in order to enforce its will, it would legitimize the very behaviour which the law sought to repress, namely the use of deadly force to settle disputes”.

Argumen Beccaria sangat menarik dan ada benarnya. Pembunuhan banyak terjadi dan masih akan terus terjadi. Penjatuhan hukuman mati oleh negara akan memberi justifikasi terhadap serangkaian tindak pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang partikelir. Jadi teori balas dendam, an eye for an eye, mendapatkan legitimasi. Untuk konteks pemidanaan, teori balas dendam ini sudah dianggap ketinggalan jaman, dan tujuan pemidanaan di Indonesia juga sebetulnya bukanlah balas dendam tetapi rehabilitasi, reedukasi dan reintegrasi ke masyarakat.

Sebagai bagian dari komunitas internasional dan anggota PBB Indonesia seharusnya sudah sejak awal menghapuskan hukuman mati karena Indonesia secara etis dan organisatoris harus tunduk pada Universal Declaration of Human Rights yang dalam Pasal 3 mengatakan:

“Everyone has the right to life, liberty and security of person”.

Apa makna pasal 3 tersebut? Karena penjelasan Universal Declaration of Human Rights tidak pernah ada, maka sumber penjelasan itu ada pada pendapat para pembuat Universal Declaration of Human Rights tersebut. Eleanor Rooselvelt dan Rene Cassin, dua di antara para perumus Universal Declaration of Human Rights, mengatakan bahwa hak untuk hidup itu tak mengenal kekecualian, dan tujuan pasal hak untuk hidup itu adalah agar kelak hukuman mati itu bisa dihapuskan. Sesungguhnya makna “non-derogable human rights” itu dimulai dengan sikap Roosevelt dan Cassin yang tegas tentang hak untuk hidup.

Indonesia juga sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dalam Pasal 6 (1) berbunyi:

“Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life”

Tetapi ICCPR masih memiliki ruang untuk hukuman mati terutama di negara-negara yang masih menjatuhkan hukuman mati pada “the most serious crimes” terutama yang berkaitan dengan kejahatan genosida. Hanya saja kalau dibaca keseluruhan Pasal 6 ICCPR kita akan melihat bahwa hak untuk hidup adalah semangat yang utama yang harus terus dihormati sampai nanti dia betul-betul menjadi hak asasi yang absolut yang sifatnya “non-derogable” dalam keadaan apa pun.

Kita tidak mengingkari bahwa Indonesia belum meratifikasi Second Optional Protocol yang secara tegas melarang hukuman mati, tetapi penafsiran otentik historis dari para pembuat instrumen atau hak asasi manusia akan membawa kita kepada semangat melawan hukuman mati. Dalam kaitan ini mungkin perlulah kita melihat teori hukum internasional yang sudah membuat semua dokumen hak asasi internasional seperti Universal Declaration of Human Rights dan ICCPR yang sudah mengikat (binding) karena sudah menjadi international customary law.

Kecenderungan menghapuskan hukuman mati ini adalah kecenderungan peradaban dunia sebagai kelanjutan dari pemikiran Cesare Beccaria. Dalam kaitan ini menarik untuk melihat Resolusi PBB No 2857 (1971) dan Resolusi PBB 32/61 (1977) yang mengambil sikap tegas ke arah penghapusan hukuman mati sebagai tujuan universal.

Dewasa ini jumlah negara yang termasuk dalam kategori abolisionist terhadap hukuman mati sudah mencapai angka 129 dengan perincian 88 negara yang abolisionist untuk semua kejahatan (abolisionist for all crimes), 11 negara untuk kejahatan biasa (abolisionist for ordinary crimes only) dan 30 negara yang melakukan moratorium hukuman mati (abolitionist in practice). Bandingkan dengan jumlah negara retentionists yang berjumlah 68 negara. Statistik ini menunjukkan bahwa kecenderungan peradaban dunia sekarang ini adalah menghargai hak untuk hidup di atas hak-hak lain terutama yang berkaitan dengan hukuman mati.

Hak untuk Hidup

Pengujian materil (judicial review) yang dilakukan ini adalah dalam rangka memulihkan kembali hak untuk hidup dari ancaman hukuman mati yang tersebar di berbagai produk perundangan. Argumentasinya sederhana: yaitu semua perundangan yang hirarkinya di bawah UUD 1945 musti tak boleh bertentangan dengan prinsip hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28I (1) UUD 1945.

Dalam konteks ini pengujian materil ini betul-betul harus melihat konstitutionalitas produk perundangan karena inilah inti dari pengujian materil. Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Agung di negara yang tak memiliki Mahkamah Konstitusi). Dalam bahasa Robert Lowry Clinton Marbury v Madison and Judicial Review (1989) dikatakan,

“Judicial review as a term used to describe the constitutional power of a court to overturn statutes, regulations, and other governmental activities, apparently was an invention of law writers in the early twentieth century”

Dalam konteks pengujian materil ini Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai “guardian of constitution” atau “the sole interpreter of the constitution” dalam bahasa Justice Marshall dalam kasus Marbury v Madison yang terkenal itu. Di tangan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi inilah UUD 1945 dipasrahkan untuk dijaga agar jangan disubversi oleh produk perundangan yang meskipun lahir secara demokratis sesuai dengan suara mayoritas tetapi bisa saja tidak konsisten atau “in conflict” dengan UUD 1945. Uji materil terhadap UU No 22/1997 tentang Narkotika adalah bagian dari constitutional test terhadap Mahkamah Konstitusi yang harus menjaga integritas, semangat dan jiwa UUD 1945.

Walaupun sesungguhnya Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengujian materil juga berkewajiban menjaga agar setiap produk perundangan bukan saja harus taat asas terhadap UUD 1945 tetapi juga menjamin hak-hak fundamental dan termasuk hak-hak kelompok minoritas seperti dikatakan Ketua Mahkamah Agung Amerika, Justice Earl Warren, bahwa:

“… the essential function of the Supreme Court (in our case Constitutional Court) in our democracy is to act as the final arbiter of minority rights”.

Di sinilah sekali lagi penting untuk menggarisbawahi bahwa dalam negara hukum konstitusional setiap produk hukum baik itu UUD maupun produk perundangan di bawahnya haruslah melindungi hak-hak asasi manusia dan hak-hak kelompok minoritas. Inilah tes sebuah negara yang mengaku dirinya memiliki Rule of Law dan demokrasi. Dalam konteks ini apa yang dikatakan oleh Jesse H.Chopper, mantan Dekan School of Law, University of California, Berkeley, dalam bukunya Judicial Review and the National Political Process (1980) adalah benar yaitu,

The political theory ordained by the Constitution forbids popular majorities to abridge certain rights of individuals even when the later may be part of the majority and even though their interest may be forcefully represented and carefully considered in the political process“.

Kita patut bersyukur bahwa UUD 1945 memberikan jalan bagi terciptanya check and balances antara lain melalui mekanisme hak uji materil (judicial review) seperti yang dituliskan dalam pasal 24C UUD 1945 yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifal final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Pengujian terhadap UU No 22/1997 tentang Narkotika adalah produk perundangan yang menurut kami mengandung materi muatan yang bertentangan dengan UUD 1945, dan karena itu harus dinyatakan dibatalkan dan tak mempunyai daya kekuatan hukum.

Pasal 28 E

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Sudah 63 tahun Indonesia Merdeka, Apa makna kemerdekaan itu harusnya dapat dipahami sama oleh segenap rakyat dan elemen Bangsa Indonesia, dengan tujuan agar menghindari dari persepsi yang bervariasi dan menyesatkan dalam mengimplementasikannya.

LBH Banda Aceh Pos Langsa memaknai alam kemerdekaan ini, dengan sudah terbebasnya Bangsa ini dari bentuk dan praktek penjajahan secara Fisik juga penjajahan ekonomi dari bangsa lain dengan praktek monopoli dan eksploitasi. Kemerdekaan adalah terciptanya kebebasan rakyat yang hakiki, juga terbebasnya rakyat dari ancaman-ancaman ketakutan, kemiskinan dengan menuju tatanan masyarakat yang berdaulat, adil dan makmur serta dapat menentukan nasibnya sendiri.

Ada banyak cara dalam memanfaatkan dan mengisi alam kemerdekaan itu, salah satunya dengan terus mengembangkan kapasitas diri atau kelompok untuk dapat maju dalam ilmu pengetahuan dan Teknologi, ada pula yang aktif berorganisasi dengan berdiskusi tentang ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang kedua-duanya baik jika semangatnya untuk membangun kepentingan bangsa.

Kita sebagai perwakilan kaum muda Aceh sampai hari ini masih banyak terganjal oleh hambatan untuk berkontribusi pikiran dan tenaga, dialami masih sering terjadinya perbedaan kesepahaman antara kalangan sipil dan aparatur negara.
Sebuah contoh kasus tentang kriminalisasi 8 orang pekerja LBH Banda Aceh yang sampai saat itu masih dalam proses persidangan. Ini bagian sejarah preseden buruk dalam penegakan nilai-nilai Demokrasi dan HAM untuk pembelaan kasus-kasus rakyat.

Kita alami dan dirasakan bahwa suasana kemerdekaan dan iklim Demokratisasi belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Aceh. beberapa kali kejadian, juga dialami kawan-kawan prodemokrasi dan pegiat sosial ketika sedang mengadakan acara seminar dan diskusi harus rela diawas-awasi sampai dengan menerima ancaman akan dibubarkan oleh pihak aparatur negara.

Ini suatu kemunduran dalam sebuah bernegara yang sudah 63 tahun merdeka, seharusnya suasana represif seperti ini hanya boleh berlaku ketika negara kita masih dalam kungkungan penjajahan Belanda dan Jepang, yang memang dengan sengaja, bertujuan membasmi gerakan-gerakan pejuang pribumi dalam persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, Oleh pemerintahan kolonial dianggap sebagai ancaman yang akan menentang keberlangsungan praktik-praktik kolonial.

LBH Banda Aceh Pos Langsa tidak akan membenarkan adanya tindakan-tindakan refresif dan memata-matai setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat dan pegiat sosial.

Jelas sekali diatur dalam UUD 1945 dalam pasal 28E yang berbunyi : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.


Pasal 28F

yang berbunyi : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1) berbunyi kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat (1) juga menyebutkan setiap warga negara secara perseorangan atau kelompok bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tangung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Adanya UU No. 9 Tahun 1998, secara yuridis telah memberikan legalitas bagi segenap elemen masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya masing-masing di tempat umum, baik itu dilakukan secara lisan maupun tulisan. Polisi sebagai aparat pelindung berkewajiban untuk menghormati dan mengayomi anggota masyarakat yang menyampaikan pikiran secara bebas dan bertanggung jawab.

Adanya tindakan mematai-matai suatu kegiatan yang bersifat ilmiah dan bertanggung jawab, merupakan sikap yang anti terhadap pencerahan dan kritik sosial. Secara yuridis sikap ini jelas bertentangan UUD 1945 pasal 28E dan pasal 28F, serta pasal 1 dan 2 UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Harapan bersama agar aparatur negara benar-benar menjadi pelindung dan pembela rakyat, serta menjunjung tinggi dasar konstitusi negara Republik Indonesia. Dengan semangat 63 tahun Indonesia merdeka, 10 Tahun Reformasi dan 2 tahun usia Perjanjian MoU RI dan GAM, mari bersama-sama kita mengambil bagian dalam penjaga perdamaian itu dengan berkarya dan berbuat untuk kemajuan Aceh.

Pasal 28 G

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak

sejatinya Pasal 28G ayat (1) tersebut tidaklah tepat untuk dijadikan dasar argumen dalam opini tersebut karena peraturan perundang-undangan bukanlah teks belaka, tetapi juga ada situasi sosial yang melatarbelakanginya. Seseorang kemungkinan besar akan mendapat suatu pemahaman yang sesat mengenai sesuatu peraturan perundang-undangan jika hanya membaca teks dari suatu peraturan perundang-undangan tanpa secukupnya mengkaji mengenai situasi sosial atau latar belakang historis yang menyertai atau menyebabkan diadakannya suatu peraturan perundang-undangan.

Adalah suatu kekeliruan menggunakan Pasal 28G ayat (1) tersebut sebagai dasar untuk berargumen demi memperoleh pembenaran untuk diberlakukannya UU ITE. Karena pasal-pasal mengenai HAM yang ada dalam UUD 1945 hampir seluruhnya mengacu pada instrumen-instrumen internasional United Nations mengenai HAM. Bahwa pemikiran doktrin-doktrin dan perlindungan mengenai HAM adalah seiring dengan sejarah peradaban manusia (lihat Encyclopedia Britannica, 15th edition, Knowledge in Depth, volume 8, halaman 1183).

Filsuf bernama John Locke mengajarkan (doktrin) bahwa suatu negara yang sangat tidak baik adalah negara yang hukum dan keadilannya tidak tegak; negara yang hakim-hakimnya tidak impartial (dipengaruhi kekuasaan lain); negara yang tidak punya petugas pelaksana putusan hakim.Untuk mengatasi hal-hal tersebut , manusia bersepakat membentuk suatu tatanan sosial yang menciptakan pemerintahan dengan tujuan demi melindungi HAM.

Doktrin dari John Locke tersebut, secara implisit menyatakan bahwa keharusan untuk melindungi HAM muncul dari situasi sosial -- di mana negara telah menjadi sangat tidak baik -- disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan sehingga setiap warga negara memiliki hak-hak asasi yang harus dilindungi terhadap kesewenang-sewenangan kekuasaan negara.

Selain itu, perlindungan HAM muncul dengan latar belakang sosial/situasi sosial sebagai berikut, peraturan perundang-undangan masa lalu (ancient) telah gagal untuk memberikan jaminan dan menghargai hal-hal mengenai kebebasan setiap manusia terhadap gangguan kekuasaan negara (Encyclopedia Britannica, 15th Edition, Knowledge in Depth, volume 8, halaman 1183). Karena kegagalan itu, juga karena menurut Lord Acton, secara empiris, power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely, jaminan dari negara mengenai kebebasan dan hak-hak warga negara adalah suatu kebutuhan yang sangat penting demi kemanusiaan.

Selain itu, Deklarasi Wina menyatakan, "... Konferensi dunia mengenai HAM menegaskan komitmen negara-negara untuk memenuhi segala kewajiban memperluas penghargaan, ketaatan, serta perlindungan bagi hak-hak manusia dan kebebasan hakiki bagi semua yang berkaitan dengan Piagam PBB, instrumen-instrumen lain yang berkaitan dengan HAM, dan hukum internasional. Sifat universal hak-hak asasi dan kebebasan hakiki ini tidak perlu lagi dipertanyakan." (lihat Deklarasi Universal HAM, Panduan Bagi Jurnalis, Juli 2000, LSPP, halaman 20).

Berpedoman kepada hal-hal tersebut, maksud yang sejati dari suatu HAM yang dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah memberikan jaminan secara konstitusional kepada warga negara Indonesia untuk memperoleh perlindungan dari para aparat negara/petugas yang memang berkewajiban untuk melayani warga negara demi rasa aman yang harus diterima oleh warga negara.

Pasal 28G ayat (1) ini tidaklah tepat dijadikan dasar untuk berargumen demi memperoleh pembenaran untuk diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diuraikan Budhijanto dalam opininya. Dasar argumen/alasan hukum yang tepat untuk hal pembatasan HAM demi kepentingan umum adalah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi RI tidaklah supraabsolut. Kutipan mengenai pendapat/dasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK RI) dalam opini Budhijanto, perlu juga untuk diluruskan. Bahwa meskipun Putusan MK RI berkekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, tetapi putusan MK RI