Selasa, 05 Januari 2010

Teknologi Informasi Modern

Tantangan Teknologi Informasi Dalam Perang Modern

KETIKA PESAWAT F-16 Fighting Falcon TNI AU sempat dikacaukan (jamming) radarnya, atau lazim ECM (electronics counter measures) F-18 Hornet dari US Navy ketika terbang atas utara Pulau Bawean dalam insiden 3 Juli 2003 lalu, hal ini sudah dapat disebut digunakannya peperangan dan informasi. Di mana kemampuan untuk mengganggu serta mengacaukan elektronika lawan dilakukan oleh program komputer di pesawat tersebut yang dirancang dengan sistem algoritma kriptografi tingkat tinggi.

Ada beberapa macam teknologi tinggi algoritma yang tersedia dan saling bersaing saat ini, salah satu di antaranya bernama Rambutan yang diilhami oleh karakteristik buah rambutan. Pada mulanya algoritma Rambutan dibuat khusus untuk kepentingan militer dalam rangka mengamankan sekaligus melindungi jalur sistem komunikasi antarkawan.

Sistem ini merupakan hasil riset yang dirancang dan dibangun bersama-sama perguruan tinggi dan institusi militer. Kerja sama tersebut bersifat simbiosis mutualistis, dan ini sudah lazim dilaksanakan di negara-negara maju. Beberapa kemampuan andal yang dimiliki algoritma Rambutan antara lain sistem pendeteksian kawan atau lawan dan kemampuan taktis andal lainnya.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa sistem pengamanan ini dinamakan Rambutan. Apa kelebihan jenis buah berambut (hairy fruit) ini sehingga dijadikan sebagai model kriptografi algoritma. Dari hasil riset dan analisis, didapat jawaban bahwa karakteristik buah Rambutan dengan berumbai-rumbai rambutnya itulah yang menjadi inspirator bagi para security designers atau cryptographers menamakan hasil penemuannya tersebut.

Tujuan utama algoritma Rambutan adalah untuk merahasiakan atau mengaburkan maksud yang sebenarnya. Seperti pada buah rambutan yang tidak bisa langsung dimakan karena ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, kita harus membuka terlebih dahulu kulit pelindungnya dengan untaian rambut-rambut sebelum kita dapat menikmati rasa dagingnya yang manis. Sehingga bagi yang tidak mengerti buah rambutan serta cara membukanya, atau hanya melihat dari tampak luarnya akan menjadi tidak tertarik dengan buah tersebut.

Filosofi inilah yang kemudian diterapkan ke dalam perhitungan matematika dan direpresentasikan dalam pembuatan rangkaian program algoritma yang rumit serta penuh "jebakan" sehingga dapat menyulitkan pihak yang berusaha untuk menguraikan untuk mencari kelemahan dari algoritma tersebut. Namun, mengapa namanya harus Rambutan, bukannya Pir, Kiwi Fruit, atau lainnya? Itu semua kembali kepada alasan dan maksud dari para perancangnya sendiri.

Sebagai contoh, selain Rambutan ada juga sistem security dengan nama Onion Peelers (Pengupas Bawang). Dalam sistem ini, sebelum dapat menemukan isi sesungguhnya dari bawang tersebut, maka selayaknya harus dikupas dahulu lapisan demi lapisan kulit bawang yang melindunginya. Maksudnya adalah, rangkaian algoritmanya atau perhitungan matematika dibuat secara rangkap dan terintegrasi satu dengan lainnya. Begitu juga dengan bahasa pemrograman Java, yang dibuat oleh para insinyur dari Sun Micro Systems yang diilhami ketika mereka sedang menikmati "Java coffee".

Memang agak lucu dan unik membayangkan beberapa hal sederhana tersebut bisa terkait dengan pembuatan suatu sistem komunikasi dan pengamanan atau bahasa program tingkat tinggi pada Electronics and Information Warfare. Namun, begitulah yang terjadi, perpaduan ilmu dan seni sering kali tercatat dalam sejarah menghasilkan banyak mahakarya yang luar biasa.

Sampai saat ini seluruh informasi teknis mengenai Rambutan tidak pernah dipublikasikan, baik lewat Internet atau media lainnya. Hal ini dapat dipahami karena sekali saja sistem algoritma dapat diketahui kelemahannya, maka hilang sistem keamanan yang dirancang dan dibangun dengan waktu riset bertahun-tahun dan biaya yang sangat besar.

Selain itu, "kebocoran informasi" juga dapat membahayakan jalur komunikasi bagi yang menggunakannya karena saluran komunikasi tersebut nanti dapat dengan mudah disadap atau dikacaukan. Hal ini membuktikan bahwa dalam perang modern, peranan Electronic and Information Warfare mempunyai andil yang signifikan untuk memenangkan suatu peperangan.

Sehingga saat ini banyak perusahaan-perusahaan besar di AS seperti General Dynamics, Raytheon, dan lainnya, serta pusat penelitian di berbagai universitas terus berlomba untuk mendapatkan kontrak pembangunan sistem keamanan atau juga sistem keamanan informasi Departemen Pertahanan AS Pentagon. Pengerjaan kontrak ini biasanya melibatkan para ahli komunikasi dan teknologi informasi, seperti para cryptographers dan security designers, atau bahkan para hacker bayaran.

Karena diyakini bahwa apa yang kita anggap sudah aman pada saat sekarang pasti akan menjadi tidak aman pada masa mendatang. Selalu ada penemuan serta teknologi terbaru baik dari para security engineers atau experienced hackers/crackers untuk melemahkan atau melumpuhkan sistem pengamanan yang dianggap paling aman saat ini. Hanya masalah waktu saja yang akan membuktikan.

Sesungguhnya batas antara para security engineers dengan hackers/crackers hanyalah untuk tujuan apa pekerjaannya tersebut. Demi negara, organisasi, atau perusahaannya. Karena dalam era Information Warfare, seorang security engineers bisa berubah menjadi hackers/crackers atau sebaliknya. Diperlukan penanganan yang serius dan manusiawi dalam hal ini.

Meskipun tidak terlihat, terdengar, atau terpublikasikan, sebenarnya saat ini sedang terjadi "pertempuran" di dunia dalam rangka mendapatkan "pengakuan" bahwa sistem keamanannyalah yang paling andal dan secure.

Banyak para ahli matematika atau cryptographers di berbagai universitas terkemuka selain melakukan riset untuk menemukan formula paling aman dalam pembuatan sistem algoritma kriptografi, juga sekaligus mencari kelemahan-kelemahan pada sistem kriptografi algoritma yang sudah ada. Inilah yang dalam praktiknya dipergunakan sebagai salah satu komponen dasar dalam Electronics and Information Warfare.

Lalu bagaimana dengan dunia cryptography di Indonesia? Meskipun ketinggalan dalam banyak hal di bidang peralatan, sarana, maupun prasarana dengan negara lain, sebenarnya kita bisa dengan cepat mengejar dengan memfokuskan pada pendidikan teknologi informasi (TI). Perkembangan pesat teknologi informasi saat ini menyebabkan dengan biaya yang relatif murah, waktu relatif singkat dan metode yang tepat, kita bisa bersaing dengan negara lain dalam mencetak sumber daya manusia berkualitas di bidang ini.

Bentuk kerja sama pengembangan sistem komunikasi berbasis TI antara institusi pemerintahan dan militer dengan perguruan tinggi akan memacu perkembangan ini. Banyak keuntungan dan penghematan anggaran negara bila kita memiliki banyak pakar dan pekerja ahli TI dan memanfaatkan mereka dengan tepat guna.

Tidak percaya kita mampu? Lihat orang-orang Indonesia yang merajai Olimpiade Fisika Asia baru-baru ini. Beri mereka dan teman-temannya pendidikan dan pelatihan yang tepat serta pembinaan yang baik, dijamin dalam 5-10 tahun mendatang akan muncul para ahli informatika muda, termasuk pakar kriptografi Indonesia. Siapa bilang kita tidak mampu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar